Keberadaannya sebagai bagian dari warisan budaya patut dilestarikan. Sehubungan dengan hal tersebut, para pengusaha kuliner pun belakangan semakin getol menyulap berbagai makanan tradisional dengan packaging yang lebih menarik. Kue tradisional, khususnya, dalam beberapa tahun terakhir bahkan semakin berani ‘menggoda’ lidah internasional. Hal tersebut ditunjukan dengan kemunculannya di meja-meja restoran terkenal international class atau bahkan hotel berbintang. Tak ayal, hal ini membuat kue-kue tradisional semakin memiliki banyak kesempatan untuk diicip lidah bule atau orang Asing.
Sebut saja seperti klepon, nagasari, putu ayu, atau bahkan tiwul sekitar 2 dasawarsa lalu bisa dikatakan hanya makanan khas pedesaan. Kudapan nan legit serta gurih tersebut hanya hadir di hajatan-hajatan warga kampung atau bahkan mungkin hanya kudapan masyarakat pedesaan sehari-hari. Tiwul bahkan dipandang sebelah mata sebagai makanan ‘orang tak berpunya’ alias memiliki keterbatasan ekonomi.
Namun, zaman telah berubah teknologi dan inovasi di bidang kuliner membuat panganan tradisional mampu ‘tebar pesona’ di tempat-tempat yang mentereng. Tiwul pun kini telah disulap menjadi kudapan banyak kalangan. Tampilannya bahkan lebih menawan dengan mengandalkan daun pisang sebagai pembungkusnya dan memilih tampil ayu bak kue bolu bahkan brownies.
Dalam satu dekade terakhir paling tidak, makanan tradisional sudah mulai ‘naik kelas’. Hal ini pun diakui Chef Farah Quinn. "Pastry di Indonesia, khususnya jajanan tradisional sudah mulai banyak dijual di toko-toko yang bertaraf internasional. Kalau dulu kan cuma ada di pasar tradisional," ungkap Chef cantik tersebut seperti dilaporkan okezone 22 Desember 2011 silam.
Kehadiran kue tradisonal di berbagai hotel berbintang atau resto-resto besar membuat pamornya kian naik. Hal ini merupakan peluang yang baik untuk membuat kue-kue tradisional sebagai komoditi bisnis yang menjanjikan.
Pengusaha catering misalnya, tak lagi sungkan untuk memamerkan makanan tradisional sebagai menu andalannya. Packaging yang manis dan rapi sungguh membuat kesan kue tradisional tampak menggoda untuk segera diicip. Langkah senada pun mulai diikuti oleh para pengusaha jajanan-jajanan pasar. Tak dipungkiri, dalam beberapa tahun belakangan semakin marak para penjaja jajanan pasar di tepi-tepi jalan. Mereka bahkan sudah mengemas kue-kue tradisional dengan kemasan yang apik dan menarik, sehingga jauh dari kesan kuno.
Farah pun kala itu menjelaskan jika pengolahan dan bentuk kue tradisional yang mengarah lebih modern dipengaruhi dua negara, yaitu Italia dan Prancis. "Coba Anda perhatikan kue-kue di Indonesia. Sekilas, terjadi sedikit perubahan bentuk, meskipun perubahannya tidak terlalu besar karena itu sudah mulai mengarah ke arah modern, ditambah pengaruh dari dua negara tersebut yang sangat kuat," pungkasnya.
Salah satu contoh nyata ‘penyulapan’ dari kue tradisional dengan tampilan modern bisa telah dilakukan oleh Hotel Best Western Kota Baru di Pontianak. Hotel berbintang ini menyajikan kue bingke khas Pontianak dengan cara yang berbeda dari biasanya. Umumnya, kue ini dicetak layaknya bunga, lalu dipotong menjadi enam saat akan disantap. Namun, hotelo ini memilih menyajikan bingka dengan dipotong membentuk jajar gendang. Praktis cara penyajian ini membuatnya tak seperti kue bingke. Meski demikian, hal tersebut tak mengubah rasa. Dalam setiap gigitannya, cita rasa manis dan gurih tetap terasa.
Tak berhenti di sini, Hotel Best Western pun menyulap Amparan Tatak, hidangan khas Banjar dengan tampilan yang baru dan lebih fresh. Biasanya kue berbahan tepung beras yang dicampur sagu dan santan itu dibungkus dengan daun pisang, tetapi hotel ini memilih menghidangkannya tanpa berbalut daun pisang.
Dua makanan tradisonal dengan ‘pengemasan’ yang berbeda hanya contoh kecil dari banyaknya penyajian kue tradisional yang belakangan semakin menunjukkan transformasi ke arah hidangan modern dan bertaraf internasional. Masuknya berbagai kuliner daerah, khususnya kue-kue tradisional ke berbagai hotel berbintang di Indonesia semakin memperbesar peluang kue-kue tersebut untuk go international. Keberanian hotel-hotel berbintang menyajikan kudapan tradisional sama sekali bukan merendahkan kelasnya.
Sebaliknya, justru mereka tengah berkontribusi untuk melestarikan warisan budaya bangsa. Mereka mencoba memperkenalkan budaya bangsa Indonesia dengan cara yang berbeda. Seniman boleh menggoda mata para pelancong dari berbagai dunia dengan karya seni, lukisan, suaranya yang menyanyikan alunan musik tradisional atau khas Indonesia.
Namun, para Chef melalui hotel yang menaunginya juga memiliki jurusnya sendiri untuk berkontribusi ‘mengumumkan kepada dunia’ tentang kekayaan negeri ini melalui makanan tradisional. Hal ini patut diapresiasi. Terlebih mengingat bagaimana pun kue-kue tradisional adalah bagian tak terpisahkan dari hasil cipta, rasa dan karsa generasi bangsa Indonesia di masa lalu.
Kehadirannya di berbagai resto atau hotel berbintang adalah wujud nyata keberanian kue tradisional menggoda lidah internasional sekaligus menunjukan eksistensinya sebagai khasanah Indonesia. Kini tugas generasi muda adalah melestarikannya! Sekedar mencicipinya, membuatnya sendiri di rumah bahkan membisniskannya adalah cara yang bisa dilakukan untuk membuatnya terus eksis di tengah gempuran kuliner global.