Untuk umat beragama Kristen dan beberapa agama lokal, tidak ada larangan khusus untuk memakan daging babi. Sebagai contoh, dalam kultur masyarakat Papua, babi termasuk binatang yang sangat berharga dan bernilai tinggi.
Dalam setiap pesta, daging babi adalah sajian utama. Sementara itu, dalam masyarakat Tionghoa, daging babi termasuk salah satu menu makanan yang terkait erat dengan adat dan kultur mereka.
Dalam agama Yahudi, tidak makan daging babi adalah sebuah cara untuk menunjukkan identitas ke-yahudi-annya. Kitab Makabe, misalnya, menggambarkan bagaimana revolusi Makabe meletus karena salah satu alasannya adalah, raja Antiokhus Epiphanes IV, yang berkebangsaan Yunani, memaksa orang Yahudi untuk memakan daging babi dan mereka menolaknya (2 Makabe 6:18 ; 7:1 bdk. 1 Makabe 1:47).
Sama halnya, dalam tradisi agama Islam larangan memakan daging babi termasuk dalam aturan utama tentang makanan.
Dalam surah Al-Maidah 3 dikatakan, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.” (lihat juga dalam Surah Al-An’am 145).
Larangan ini cukup penting sehingga di Republik Islam Iran, barang siapa yang membawa daging babi ke negara itu akan dihukum sampai tiga bulan penjara.
.
Mengapa larangan untuk memakan daging babi itu begitu penting bagi kedua agama Abrahamistik tersebut?
Dalam pembahasan selanjutnya, artikel ini hanya memfokuskan diri pada larangan makan daging babi dalam tradisi Yahudi.
Konsekuensinya, pembahasan ini akan mengarah pada larangan makan daging babi dalam Perjanjian Lama. Sebab, sebagaimana kita tahu, larangan daging babi dalam agama Yahudi berdasar pada larangan yang termuat dalam Kitab Suci mereka (Tanakh) dan dalam tradisi Kristiani, ini menunjuk pada Perjanjian Lama.
Lantas pertanyaan lanjutnya, mengapa Alkitab Perjanjian Lama menuliskan larangan tersebut.
.
Larangan Makan Daging Babi Dalam Perjanjian Lama dan Penafsirannya
Satu satu dokumen tertua yang memuat larangan tersebut adalah Kitab Ulangan dalam Perjanjian Lama: “Inilah binatang-binatang berkaki empat yang boleh kamu makan: lembu, domba dan kambing; rusa, kijang, rusa dandi, kambing hutan, kijang gunung, lembu hutan dan domba hutan.
Setiap binatang berkaki empat yang berkuku belah yaitu yang kukunya bersela panjang menjadi dua dan yang memamah biak di antara binatang-binatang berkaki empat, itu boleh kamu makan.
Tetapi inilah yang tidak boleh kamu makan dari antara yang memamah biak atau dari antara yang berbelah dan bersela kukunya: unta, kelinci hutan dan marmot, karena semuanya itu memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram semuanya itu bagimu.
Juga babi hutan, karena memang berkuku belah, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan janganlah kamu terkena bangkainya” (Ul. 14:4-8).
Instruksi yang melarang untuk memakan daging babi dalam aturan di atas cukup jelas dan tegas. Hanya saja, alasan yang mendasari larangan tersebut masih tetap tidak jelas.
Sebagai contoh, aturan di atas menyatakan, babi dilarang untuk dimakan karena mereka tidak memamah biak. Tetapi, yang cukup membingungkan adalah mengapa ‘tidak memamah biak’ menjadi persoalan.
Apa yang salah dengan ‘tidak memamah biak’? Jika memang ‘tidak memamah biak’ itu menjadi batu sandungan sehingga orang dilarang makan, mengapa TUHAN menciptakan binatang tersebut.
Ini yang tidak dijelaskan dalam Alkitab. Dan risiko munculnya multitafsir atas teks ini jelas tidak terelakkan.
Tidak adanya penjelasan tentang alasan dan tujuan pelarangan tersebut justru menimbulkan sejumlah perdebatan bagi ahli tafsir atau teolog sejak zaman dahulu. Ambil contoh saja, Filo dari Alexandria, filosof Yahudi abad pertama Masehi.
Ia berpendapat dalam risalahnya tentang Hukum Khusus 4:100-107, bahwa daging babi adalah terlarang bagi orang Yahudi karena daging itu paling lezat di antara binatang yang lain dan memakannya akan membawa pada dosa kerakusan akan makanan; larangan hukum ini mengajarkan pengekangan diri dan kesederhanaan.
Pandangan Filo ini jelas mengandaikan, babi pada dirinya sendiri adalah binatang yang ‘netral’. Hanya saja, efek yang ditimbulkan dari makan daging babi itu dianggap merugikan bagi perkembangan hidup rohani.
Berkenaan dengan ciri khas ‘memamah biak’, Filo berpendapat, binatang yang memamah biak diperbolehkan untuk dimakan karena sebagai vegetarian mereka selaras dengan jiwa yang santun dan tidak suka dengan kekerasan dan proses memamah atau mengunyah makanan mereka menjadi model pemamahan intelektual murid yang merenungkan prinsip-prinsip pengetahuan yang diajarkan oleh guru mereka.
Memang di sini, orang akan bertanya, apakah makanan yang dimakan sangat mempengaruhi karakter seseorang? Apakah mereka yang memakan daging sapi, kemudian akan menjadi lebih lemah lembut daripada yang tidak memakan?
Pendapat lain yang lebih umum dan meyakinkan diungkapkan oleh Moses Maimonides, seorang rabi Yahudi di Abad Pertengahan di Spanyol (1135/1138-1204). Menurutnya, Taurat melarang babi sebagai makanan karena pola hidup babi dan makanannya itu kotor dan jorok; memakan daging babi akan membuat kotor rumah dan jalan, dan membuatnya akan lebih kotor daripada septictank (Tuntunan bagi mereka yang dalam kebingungan 3:48).
Ia juga mengutip pernyataan dari sebuah Talmud: “Mulut babi itu kotor seperti kotorannya sendiri” (Talmud babilonia. Ber. 25a). Penafsiran Moses Maimonides ini kerap menjadi alasan umum untuk menjelaskan pelarangan makan daging babi.
Babi memang memiliki kebiasaan makan yang berbeda dengan binatang ternak lainnya yang dikembangbiakkan sebagai makanan, baik di Israel kuno maupun di dunia modern, seperti sapi, kambing, dan biri-biri.
Babi tidak memamah biak atau tidak makan rumput, tetapi mereka juga makan limbah berbagai macam hal, seperti kotoran binatang atau manusia, atau sampah berbagai macam hal, dan mereka juga akan makan daging, termasuk daging manusia dan bahkan anak-anaknya sendiri.
Tambahan lagi, Maimonides menyinggung perilaku babi yang tidak menyenangkan yaitu berkubang dalam air kencing dan kotoran ketika mereka tidak memiliki lumpur untuk menutupi kulitnya.
Apakah penafsiran Moses Maimonides ini masih relevan dengan zaman modern di mana peternakan babi sekarang ini sangat memperhitungkan dan mempertimbangkan masalah kebersihan?
Pada zaman Moses Maimonides, pada zaman Abad Pertengahan, mungkin pengembangbiakan babi masih ala kadarnya dan tidak mempertimbangkan kebersihan.
Disadur dari tulisan Romo Albertus Purnomo, OFM, penulis buku, kolumnis, dan pengajar Kitab Suci di STF Driyarkara atau kursus-kursus Kitab Suci dan Alumnus Pontificium Institutum Biblicum Roma dari hidupkatolik.com