Nikmatnya Berbuka Puasa Ramadhan Dengan Gulai Kambing di Masjid Gedhe Kauman

Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, bisa dipahami jika Indonesia kemudian memiliki banyak tradisi bernafaskan Islami yang tersebar di berbagai penjuru negeri. Keragaman suku, perbedaan wilayah yang berpulau-pulau hingga perbedaan persebaran Islam di setiap wilayah membuat keragaman tradisi tidak terhindarkan. Diantara tradisi yang mendarah daging sehubungan dengan budaya bernafaskan Islam adalah tradisi menyuguhkan menu tertentu sebagai takjil pada bulan puasa Ramadhan dibeberapa masjid besar di Tanah Air.

Keragaman suku, perbedaan wilayah yang berpulau-pulau hingga perbedaan persebaran Islam di setiap wilayah membuat keragaman tradisi tidak terhindarkan. Diantara tradisi yang mendarah daging sehubungan dengan budaya bernafaskan Islam adalah tradisi menyuguhkan menu tertentu sebagai takjil pada bulan puasa di beberapa masjid besar di Tanah Air.

Salah satunya adalah takjil di Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta. Masjid milik Keraton Nyayogyakarta Hadiningrat ini memiliki budaya unik menyajikan menu takjil berupa gulai kambing sepanjang Bulan Ramadhan. Seperti apa keunikannya, melalui artikel berikut akan kami ajak Anda mengulik mengulik tradisi takjil gulai kambing di Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta.

 

Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta Sarat Sejarah dan Filosofi

Bicara tentang takjil di Masjid Gedhe Kauman, tentu tak bisa dilepaskan begitu saja dari keberadaan masjid tersebut. Kemunculan tradisi takjil gulai kambing diikuti kelestarianya tidak akan pernah ada tanpa keberadaan Masjid Gedhe Kauman sebagai tempat berlangsungnya tradisi tersebut.

Usia masjid itu memang tak lagi muda. Didirikan pertama kali pada 29 Mei 1773, Masjid Gedhe Kauman pembangunanya dilakukan pada masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Masjid ini menjadi simbol harmonisasi kebudayaan Jawa khas Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan religiusitas masyarakatnya. Selain itu, masjid ini dapat pula dikatakan sebagai kelengkapan Kerajaan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat.

Budaya Jawa dan Islam tampak membaur menjadi satu dalam arsitektur bangunan masjid ini. Hal ini bisa terlihat dari bentuk atap tingkat tiga atau susun tiga yang diadopsi dari pola susun tiga gaya tradisional Jawa bernama Tajug Lambing Teplok. Bukan tanpa makna, pola ini memiliki filosofi tinggi bahwa dalam pencapaian kesempurnaan hidup manusia terdapat tiga tahap, yaitu hakikat, syariat, dan ma’rifat.

Bangunan di masjid ini memiliki simbol-simbol yang berkaitan dengan syiar Islam. Di bagian ujung teratas atap terdapat mustaka dengan bentuk daun kluwih, buah yang biasanya disayur oleh masyarakat Jawa, bentuk buahnya seperti sukun. Simbol ini memiliki makna keistimewaan bagi individu yang sudah mencapai kesempurnaan hidup.

Terdapat pula Gadha berbentuk alif yang merupakan lambang bahwa hanya Allah yang satu. Berbagai perpaduan simbolisasi itu mengandung makna bahwa orang yang telah menjalani hakikat, syariat, dan ma’rifat, hidupnya akan selalu dekat dengan Allah SWT.

Tak hanya pada atapnya, bagian depan masjid, kanan kiri, sekeliling dan bahkan bagian dalam semuanya memiliki ornamen unik yang jika ditelisik memiliki makan mendalam. Di bagian depan masjid terdapat gapuro atau gapura. Pemilihan kata ini sendiri rupanya berasal dari bahasa Arab, yaitu ghafuro yang berarti ampunan dari dosa.

Gerbang itu sendiri berbentuk Semar Tinandu yang memiliki makna Semar memberikan asuhan, menjaga serta memberikan suri teladan kepada raja dan ksatria. Semar sendiri adalah toko punakawan dalam pewayangan Jawa.

Sedikit masuk dari gapura terdapat cepuri, yaitu bagian dalam benteng dan gapura. Lagi-lagi keunikan ditemukan di sini. Pada cepuri terdapat ukiran buah waluh atau labu. Buah waluh sendiri sebenarnya merupakan seni patung kaligrafi dari bentuk tulisan Allah.

Para ulama dulu ingin mengajarkan kata Wallah kepada masyarakat Jogjakarta. Namun, lidah orang Jawa yang kala itu kesulitan mengatakan kata tersebut, maka dipilih waluh untuk mempermudah ingatan kata Wallah. Waluh sendiri merupakan tanda bahwa masjid adalah rumah Allah.

Di halaman masjid pun ditanami pohon sawo. Siapa menyangka jika pohon ini juga menjadi ‘media dakwah’. Pohon sawo yang ditanam tersebut mengingatkan pada “Sawwuu shufuufakum" atau luruskan shaff-shaff kalian - yaitu perintah meluruskan barisan atai shaff saat melaksanakan shalat. Terdapat pula pohon sawo kecik yang menyiratkan makna sarwo becik yang berarti berbuat serba yang baik.

Sebelum memasuki serambi pun terdapat kolam atau disebut dalam bahasa Jawa sebagai blumbang. Kolam itu berisi air yang berfungsi untuk membasuh kaki sebelum memasuki masjid. Bagian ini lagi-lagi memberikan petuah kepada masyarakat Jogjakarta bahwa untuk memasuki masjid harus dalam keadaan suci.

Masih dari bagian serambi, di bagian ini tampak warna-warni yang menjadi simbol gemerlapnya dunia. Warna yang digunakan di serambi meliputi kuning  gading, emas,  merah, hijau,dan  biru yang masing-masing sebagai simbol dari waktu shalat. Warna biru sebagai simbol isya‟, hijau: subuh, kuning gading: dzuhur, emas: Ashar, dan merah:  magrib.

Seluruh tiang pada serambi masjid itu menggunakan umpak atau alas dari batu. Hal ini pun memiliki makna perkembangan agama di Tanah Jawa. Umpak sendiri merupakan simbol dari orang Jawa yang dulu memeluk agama Hindu.

Di atasnya terdapat profil stupa praba yang melambangkan agama Budha. Berikutnya, terdapat kaligrafi pada bagian atas dengan stilir tumbuhan yang jika dibaca berbunyi “ Muhammad Rasulullah’.

Memasuki ruang serambi akan tampak ukiran wajik pada pintu masjid. Wajik sendiri adalah makanan dari Jawa yang rasanya manis, mengandung gula dan santan. Namun, pemilihan wajik di pintu masjid ini sama sekali tak ada hubungannya dengan makanan.

Sebaliknya, tampaknya nama makanan ini sengaja dipilih untuk memudahkan masyarakat kala itu menerima ajaran Islam. Wajik sendiri mengacu pada hakikat pengadilan akhirat yang lebih kuat.

Dibangun atas prakarsa Sultan HB I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat yang merupakan Penghulu Keraton Jogjakarta pada masa itu, Masjid Gedhe Kauman sudah mengalami banyak pengembangan. Serambi masjid yang kini difungsikan sebagai ruang serbaguna dibangun pada 20 Syawal 1189 Hijriah.

Pada bagian sisi utara dan selatan juga terdapat ruang pagongan yang difungsikan sebagai tempat memainkan gamelan pada bulan Maulid yang juga diselingin dengan dakwah dari ulama. Masyakat setempat menyebut kegiatan ini dengan sebutan Sekaten. Tradisi ini pun masih terus lestari hingga kini. Nama Sekaten sendiri diambil dari Bahasa Arab, yaitu Syahadatun yang  artinya  syahadat atau  dua  kalimat  syahadat.

Pada ruang shalat utama, terlihat dinding batu alam putih dengan tiang-tiang dari kayu jati yang usianya mencapai ratusan tahun. Lantai masjid pun tampak istimewa dengan marmer yang khusus didatangkan dari Italia.

Kayu jati itu bahkan merupakan kayu utuh tanpa sambungan sama sekali. Apabila melihat lebih teliti, di ruang shalat utama, tampak sebuah ruang kecil selain mihrab dan mimbar. Ruang mungil itu bernama maksura, yaitu sebuah ruang yang memang dipersiapkan di shaf terdepan khusus untuk Sultan dan keluarganya saat melaksanakan ibadah.

 

Tradisi Takjil Gulai Kambing

Tak ada yang berbeda dengan kebanyakan masjid lain di berbagai penjuru Nusantara yang juga banyak menyajikan menu untuk buka puasa atau takjil. Hanya saja, di masjid yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I ini terdapat sebuah tradisi unik memberikan takjil berupa olahan gulai kambing setiap hari Kamis sepanjang bulan Ramadhan. Tradisi takjil dengan menu gulai kambing tersebut sudah mengakar kuat sejak Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Ditinjau dari segi historisnya, menu gulai kambing itu semula diberikan oleh Sultan sebagai bentuk terima kasih dan sodaqoh kepada kaum duafa di Jogjakarta. Gulai kambing pada era itu adalah menu yang sangat langka dan istimewa. Oleh karena itu, menu ini sendiri disuguhkan untuk berbuka agar mereka bisa merasakan menu yang berbeda dari menu harian yang biasa mereka konsumsi.

Dalam perkembangannya, menu takjil ini tetap dipertahankan sebagai menu khusus di Masjid Gedhe Kauman. Menu takjil gulai kambing dulu disiapkan warga dan jemaah setempat dengan memasak sendiri di lingkungan masjid.

Akan tetapi, dalam perkembangannya tradisi memasak gulai kambing tersebut mulai memudar. Tugas tersebut pun dilimpahkan kepada pihak katering. Jumlah porsi gulai kambing yang semakin banyak setiap tahunnya menjadi alasan yang logis tugas tersebut tak lagi dilakukan oleh warga sekitar.

Jumlah porsi gulai kambing yang disediakan pun cukup banyak, mencapai di atas seribu porsi. Jumlah porsinya pun setiap tahun semakin meningkat. Hal ini tak terlepas dari semakin banyaknya sedekah yang diberikan oleh jamaah. Untuk diketahui, jumlah makanan yang disajikan oleh pengurus masjid setiap bulan suci itu tiba bersumber dari sedekah jamaah.

Sebagai masjid besar, bukan hal yang mengherankan jika Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta banyak didatangi jamaah. Mereka bukan hanya datang dari kawasan sekitar (jamaah rutin), melainkan juga yang datang dari berbagai penjuru daerah. Kondangnya menu takjil istimewa berupa gulai kambing setiap Kamis sepanjang bulan Ramadhan pun tak pelak menjadi magnet tersendiri bagi para jamaah bagi luar daerah.

 

Asyiknya Ngabuburit di Masjid Gedhe Kauman

Ingin merasakan sensasi berbeda saat berlibur di Jogjakarta? Datanglah saat bulan puasa Ramadhan tiba. Puas berkeliling keraton, anda bisa menuju ke alun-alun utara. Tepat di seberangnya terdapat sebuah masjid yang cukup besar. Bangunannya tampak klasik, tetapi memiliki cita rasa seni yang begitu tinggi.

Keindahan arsitektur masjid ini merupakan pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan dalam kunjungan ke Kota Gudeg. Saat hari-hari biasa, masjid ini cenderung sepi, kecuali pada saat waktu solat masuk. Para jamaah akan berduyun datang untuk menunaikan kewajiban solat 5 waktu. Namun, pada bulan puasa pemandangan tentu lain.

Pada bulan ini, anda akan menjumpai aktvitas keagamaan yang lebih padat dibandingkan hari-hari biasa. Kegiatan pengajian, solat taraweh dan lain sebagainya menjadi agenda yang dilaksanakan di masjid ini kala puasa tiba. Satu hal yang menarik, tentu saja aktivitas berbuka bersama.

Sepanjang bulan Ramadhan, di masjid ini disediakan menu buka puasa atau takjil gratis. Namun, ada yang istimewa berkaitan dengan pemberian takjil itu. Setiap hari Kamis, masjid ini memberikan menu takjil berupa gulai kambing.

Suasana tak biasa pun tampak di Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta saat hari Kamis sore sepanjang bulan suci Ramadhan. Pemandangan riuh jamaah mulai terlihat saat jelang sore tiba, tepatnya usai kumandang solat Ashar. Usai solat Azhar ditunaikan berjamaah, suasana masjid masih ramai dengan banyak jamaah. Mereka banyak yang menuju bagian serambi masjid.

Pemandangan cukup menyejukan hati mulai terlihat. Ya, ramai jamaah melantunkan ayat suci Al-Qur’an sembari menunggu waktu magrib atau berbuka tiba. Meski demikian, tampak pula di bagian lain dari masjid tersebut orang-orang yang duduk bersantai sembari saling berbincang dengan sesama.

Semakin sore keriuhan pun semakin tampak. Memasuki pukul 17.00 WIB, area masjid semakin riuh. Jamaah semakin banyak yang memadati masjid. Jumlah kunjungan semakin banyak menjelang waktu berbuka puasa tiba.

Bunyi adzan Magrib pun memecah keheningan dan menjadi pertanda buka puasa dimulai. Panitia Ramadhan dari masjid ini pun mempersilakan para jamaah yang datang untuk mengambil menu makanan yang disediakan takmir untuk membatalkan puasa.

Bagi yang tak menyukai gulai kambing atau justru malah menginginkannya, tetapi tidak kebagian, sungguh tak perlu khawatir! Pasalnya, panita ramadhan di masjid ini juga sudah menyiapkan menu lainnya, mulai dari makanan hingga minuman. Dengan demikian, Anda tetap bisa membatalkan puasa dengan segera.

 

Tradisi Lain Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta di Ujung Ramadhan

Sementara itu, Masjid Gedhe Kauman juga memiliki tradisi menarik lain yang tak ada duanya di Indonesia saat bulan Ramadhan tiba. Di masjid yang dibangun pada 1773 ini, jadwal tarawih dilaksanakan dua kali, yaitu pada waktu usai solat Isya’ dan saat dini hari, sekitar pukul 2 pagi.

Bukan hanya saat puasa, masjid ini juga masih menyimpan keistimewaan tradisi lainnya saat menginjak bulan Syawal atau Lebaran. Pada tanggal 1 Syawal, usai solat Subuh, jamaah di masjid ini akan melakukan sarapan bersama dengan menu oblok-oblok.

Menu yang baru saja disebut mengacu pada sajian roti dengan kuah santan manis yang dicampur dengan gula jawa. Penyajiannya menggunakan piring. Makanan ini sangat nikmat disantap selagi hangat. Menu ini sendiri dihidangkan usai solat Subuh yang kemudian dirangkai dengan kegiatan laporan akhir Ramadhan oleh panitia. Oblok-oblok tersebut diolah oleh warga Kauman sendiri.

Aroma khas gula jawa berpadu gurih santan serta roti yang lembut begitu lumer di mulut. Kelezatannya cukup untuk mengawali manisnya suasana Lebaran setelah 30 hari berpuasa yang penuh dengan perjuangan, bukan saja menahan lapar dan haus, melainkan juga menahan banyak nafsu duniawi lainnya.

 

Tradisi dan Kekayaan Negeri

Mengetahui sejarah dan perkembangan Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta secara lengkap dengan makna filosofi pada ornamen-ornamennya serta tradisi yang melekat padanya, tak dipungkiri membuncahkan kebanggaan tersendiri sebagai bangsa Indonesia.

Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta adalah salah satu saksi bisu perkembangan Islam di Nusantara. Ornamen yang ada di bangunan suci itu tak sekedar ‘bumbu’ estetika semata, melainkan syiar agama yang penuh makna. Dari ornamen-ornamen itu, kita bisa mengambil makna yang sangat dalam, dari segi religi hingga budaya.

Dari budaya-budaya yang masih terus hidup menandakan bahwa globalisasi nyatanya tak lantas melindas tradisi. Khususnya dari takjil gulai kambing terdapat pula pelajaran berbagi atau bersedekah.

Oleh karena banyaknya makna hidup yang bisa diambil dari kunjungan ke Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta, Anda yang kebetulan bertandang ke Jogjakarta saat hari Kamis di bulan Ramadhan, sempatkanlah menyambangi masjid ini.

Bukan saja akan menemukan menu buka puasa Ramadhan nan istimewa, melainkan Anda akan juga bisa merasakan atmosfer Ramadhan yang berbeda. Dari sebuah tempat yang berada di lingkup kerajaan yang masih aktif di zaman modern ini, nuansa religi sekaligus tradisi sangat kental terasa.

Hebatnya lagi, kelestarian tradisi itu bersanding dengan hiruk pikuk Kota Jogjakarta yang mulai disesaki dengan banyak kemacetan di mana-mana. Istimewa!! Seperti Jogja yang memang menjadi daerah istimewa!

Luar Biasa, Cita Rasa Serabi Yang Dimasak Menggunakan Kayu Dari Pohon Kopi

Sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih yang berasal dari Jawa, pasti sudah tidak asing lagi dengan serabi. Serabi adalah sebuah istilah dari jajanan pasar tradisional yang berasal dari Indonesia. Di Jawa, serabi disajikan dengan perpaduan kuah santan dengan isian gula atau manisan lainnya. Baca selengkapnya.....

Kopi Cap Oplet, Pencipta Produk Kopi Sekali Seduh Kemasan Modern Di Bogor

Kopi merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan yang merupakan penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, dan penyedia lapangan kerja. Selain itu, kopi mempunyai multi fungsi, diantaranya fungsi produksi, fungsi konservasi hidrologi yang ramah lingkungan serta fungsi sosial. Baca selengkapnya.....
Kontol Kambing Khas Malang Uenake Pol Rek

Kue Kontol Kambing, Nama Yang Menggelitik dan Bikin Panik

Saat mendengar nama kota Malang, apa yang Anda pikirkan? Ya, sebagian besar dari Anda akan menyebut jika salah satu kota di Jawa Timur ini kaya akan tempat wisata beragam, kuliner yang gurih hingga pedas, juga buah apel yang segar alami. Namun, pernahkah Anda berpikir jika Malang juga memiliki kuliner yang namanya kelewat nyeleneh? Baca selengkapnya.....

Mengapa Rendang Sangat Potensial Sebagai Pilihan Bisnis Kuliner?

Indonesia memang sebuah negara yang besar. Wilayahnya membentang luas dari Sabang di sisi barat sampai Merauke di sisi timur, dari Miangas di sisi utara hingga Pulau Rote di sisi selatan. Demikian luasnya wilayah negeri ini, tak mengherankan jika memiliki penduduk dengan beragam suku. Bukan sebagai pemisah, nyatanya perbedaan suku tersebut justru melahirkan perbedaan budaya yang menjadi simpul persatuan bangsa. Baca selengkapnya.....